Nostalgia Naik Bus Tingkat Kota Solo
Satu lagi keistimewaan dan keunikan kota Solo yang tidak dimiliki kota lainnya. Yaitu keberadaan Bus Tingkat atau yang lebih dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan bus tumpuk atau bis tumpuk.Sayangnya, keunikan itu kini sudah tidak dijumpai lagi di kota bersumbu politik pendek itu. Bersama dengan kota Jakarta, Surabaya, dan Makassar, dulu bus tingkat pernah eksis cukup lama di empat kota tersebut. Hanya Solo lah satu-satunya kota kecil yang memperoleh keistimewaan itu.
Semasa masih SD, aku masih ingat dulu sering naik bus tingkat itu dari Pasar Kleco dan turun di Kusuma Sahid saat berangkat ke sekolah jika tidak ada yang mengantar. Terkadang, aku juga sengaja pulang naik bus tingkat dari Matahari Beteng (sekarang jadi Pusat Grosir Solo) dan turun di Toserba Relasi (Mendungan). Perjalanan pulang ini yang menarik karena menempuh rute lebih panjang dan lebih lama serta lebih sepi. Kalau naiknya pas berangkat sekolah, bus tingkat sering dijejali penumpang. Sementara kalau naiknya pas pulang sekolah, penumpangnya relatif lebih sedikit sehingga biasanya aku sengaja naik ke lantai dua dengan tujuan sambil melihat-lihat pemandangan sekitar rute yang dilalui bus siput itu (sengaja kusebut bus siput karena jalannya relatif sangat pelan dan lama).
Rute Bus tingkat di Solo kala itu menempuh jurusan dari Terminal Kartosuro (Sukoharjo) ke Terminal Palur (Karanganyar) PP (Pergi-Pulang). Hanya saja, ada sedikit perbedaan rute jalan antara pergi-pulangnya. Kalau dari arah Kartosuro, bus tingkat itu melalui Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kampus UMS Pabelan, RS YARSIS, Purwosari, Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jend. Soedirman, Pasar Gedhe, Panggung, Jebres, Kampus UNS, Taman Jurug, dan kemudian berakhir di Terminal Palur. Untuk menempuh jarak sepanjang ± 20 KM itu, bus siput ini butuh waktu antara 1-1,5 jam. Sementara kalau dari arah Palur, bus tingkat itu melalui Taman Jurug, Kampus UNS Kentingan, Jebres, Panggung, Pasar Gedhe, Balai Kota Surakarta, Jalan Jend. Soedirman, Gladak, Matahari Beteng, menyusuri kawasan Pasar Kliwon, RS. Kustati, kemudian Pasar Gading (Alun-Alun Kidul), Gemblegan, Ponpes Jamsaren, Pringgolayan, Lapangan Tipes, SMA 7, Bunderan Baron, SD Ta’mirul Islam, SMP/STM Murni, RS DKT, kemudian Jalan Slamet Riyadi, Purwosari, Jajar, Kleco, Pabelan, dan berakhir di Terminal Kartosuro (lama). Waktu tempuh dari Palur ke Kartosuro relatif lebih lama daripada Kartosuro ke Palur, karena jalur-jalur yang dilalui lebih jauh dan berliku-liku.
Ada beberapa cerita tanpa sumber jelas tentang sejarah bus tingkat di kota Solo yang notabene adalah kota kecil dan bukan kota ibukota provinsi. Konon, berdasarkan cerita-cerita orang-orang tua dulu, bus tingkat bisa ada di Solo karena peran serta Pak Harto (Presiden Kedua RI) dan bu Tien (Tien Soeharto). Pada masa pemerintahan Pak Harto, Solo diupayakan bisa seperti Jakarta. Kota Solo boleh dibilang adalah kotanya pak Harto dan bu Tien. Ini seperti Pak Karno dengan Blitar atau SBY dengan Pacitan. Terlebih lagi, ibu Tien tidak hanya sekedar orang Solo namun juga keturunan kerabat Mangkunegaran. Atas permintaan bu Tien, maka pak Harto kemudian mengirimkan beberapa unit bus tingkat untuk beroperasi di Solo. Kebetulan secara topografi (bener nggak sih saya pakai istilah ini? CMIIW), permukaan tanah kota Solo relatif rata dan datar sehingga pas jika diberi bus tingkat. Awalnya sebuah bis tingkat pertama masuk ke kota Solo pada tahun 1983 (CMIIW). Singkat cerita, beberapa tahun kemudian jumlah bis tingkat menjadi 30 buah.
Bus tingkat sekarang memang sudah tidak dijumpai di kota Solo. Di kota-kota lain pun juga sudah tidak ada. Solo adalah kota terakhir yang menghapus keberadaan bus tingkat. Habisnya karir bus tingkat Solo sepertinya berawal dari krisis moneter dan kemudian juga karena perkembangan zaman. Ketika itu, semenjak badai krisis moneter mulai kisaran tahun 1997-an, seluruh harga-harga barang melambung tinggi. Hal itu juga memicu meningkatnya biaya perawatan bus tingkat yang menggunakan mesin pabrikan Volvo. Terlebih lagi komponen-kompenen suku cadangnya harus didatangkan langsung dari luar negeri. Mau tidak mau biaya perawatanpun membengkak.
Perkembangan zaman dan mahalnya biaya perawatan sementara pendapatan dari bus tingkat tidak mencukupi biaya perawatannya, memaksa Perum Damri sebagai pengelola bus tingkat ketika itu kemudian mempensiunkan total bus tingkat di kota Solo. Aku lupa pastinya kapan bus tingkat di Solo benar-benar dihilangkan.
Keberadaan bus tingkat di Solo terkadang memang menjadi sarana bersantai murah sambil menyaksikan sekitar kota Solo. Ada pula yang sering menjadikannya media penghilang stress murah. Kalau bagi anak-anak mudanya, tak jarang lantai 2 bus tingkat sering dijadikan lokasi ‘kojom‘ murah (bc: pacaran).
Disadari atau tidak, ketika itu bis tingkat cukup menjadi fenomena unik kota Solo, khususnya masyarakat di luar Solo. Ada semacam opini yang beredar, belum lengkap rasanya kalau ke kota Solo jika belum menaiki bis tingkat. Keberadaan bis tingkat telah memberikan kebanggaan khusus bagi masyarakat Solo. Dan kebanggaan masyarakat Solo akan kota tempat tinggalnya itu akan kembali lagi insya Allah tahun ini secepatnya pada bulan depan (Maret) karena bus tingkat akan kembali hadir di kota Solo. Kepada warga di luar Solo, mari kunjungi kota Solo, the Spirit of Java!Monggo mas lan mbakyu…
terima kasih buat undangan datang ke kota solonya mas,tapi mau tanya apaboleh.?itu foto2 yg dipampang bus tingkat jaman bahelo....,busnya apa masih ada mas..?kerangka busnya apa masih kuat ?kalo masih kuat...saya tertarik utk membelinya,akan saya jadikan koleksi saja....,bisa hub.saya budi di ( 0812 856 0881 )
BalasHapusAku juga PGN bli bodinya PGN dibikin kamar markas
BalasHapusIdem sama di atas..nggu info ja,spa tw bsa boyong walau tampa mesin,utk jdi hotel di bali.
BalasHapusSumbernya di daerah mana kak?
BalasHapus